Laman

Minggu, 05 Juni 2011

makalah hukum agraria

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari tindak tanduk manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan kelanjutan kehidupannya. Oleh karena itu tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah.

Untuk itulah diperlukan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah. Didalam hukum adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan kelanjutan kehidupannya.

Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi mereka makan, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orang-orang halus perlindungannya serta para arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya-daya hidup, termasuk juga hidupnya umat dan karenanya tergantung dari padanya, tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu.

Kita juga bahwa telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Dinegara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non.

Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan campur tangan penguasa yang kompeten dalam urusan tanah, khususnya mengenai lahirnya, berpindah dan berakhirnya hak milik atas tanah. Dilingkungan hukum adat, campur tangan itu dilakukan oleh kepala berbagai persekutu hukum.

seperti kepala pengurus desa. Jadi, jika timbul permasalahan yang berkaitan dengan tanah adat ini, maka pengurus-pengurus yang telah ada itulah yang akan menyelesaikannya. Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaidah-kaidah hukum.

Keseluruhan kaidah hukum yang timbul dan berkembang didalam pergaulan hidup antar sesama manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemanfaatan antar sesama manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemanfaatan sekaligus menghindarkan perselisihan dan pemanfaatan tanah sebaik-baiknya. Hal inilah yang diatur dalam hukum tanah ada.

Dari ketentuan-ketentuan hukum adat ini akan timbul hak dan kewajiban (obligasi) yang berkaitan erat dengan hak-hak yang yang ada diatas tanah. Hukum tanah indonesia dari jaman penjajahan terkenal bersifat “dualisme” yang dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang dikuasai oleh hukum Eropa disatu pihak, dan yang dikuasai oleh hukum adat dipihak lain.

Keadaan seperti ini tidak lepas dari peninggalan atau warisan dari politik, agraria pemerintahan hindia belanda, yang pada dasarnya mempunyai alasan untuk pemisahan antara kepentingan rakyat pribumi dan kepentingan modal asing.

Hal ini dapat dilihat dari komentar Prof.Tier Haar Bzn yang menyebutkan bahwa dengan usaha bersama dicoba memberikan jaminan tentang nikmat ekonomi atas tanah misalnya : syarat hidup bagi penduduk pribumi, syarat berdiri bagi pengusaha-pengusaha perkebunan Eropa.

Terlepas dari itu, diseluruh indonesia kita melihat adanya hubungan-hubungan antara persekutuan hukum dengan tanah dalam wilayahnya, atau dengan kata lain, persekutuan hukum itu mempunyai hak atas tanah-tanah itu, yang dinamakan Beschikkingsrecht. Untuk istilah ini, beberapa sarjana memiliki beberapa perbedaan penggunaan istilah .misalnya :
“hak pertuanan” (Prof. Dr. Soepomo), “hak ulayat” (Dr, Soekanto) dan (Prof. Mr Mahadi).



Hal ini membawa kita ke suatu pemahaman bahwa tanah adat atau hukum tanah adat di indonesia mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pola hidup dan persekutuan masyarakat hukum adat. Tetapi masalah hukum adat tidaklah mudah adanya. Karena masih dibawah pengaruh dualisme hukum tanah yang ada selama pemerintahan hindia belanda.


1.2 Rumusan Masalah

1. Hukum tanah adat sebelum berlakunya UUPA
2. Beberapa aspek hukum tanah adat di indonesia
3. Kedudukan hukum tanah adat dan aglaria indonesia dalam penanggulangan permasalahan pertahanan
4. Hukum tanah adat setelah berlakunya UUPA

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Tentang tanah adat sebelum berlakunya UUPA
2. Untuk mengetahui Aspek Hukum Tanah Adat di indonesia
3. Untuk mengetahui kedudukan hukum tanah adat dan agraria indonesia dalam penanggulan permasalahan pertahanan
4. Untuk mengetahui tanah adat setelah berlaku UUPA
1.4 Manfaat Penulisan
Hasil penulisan Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak, memperkaya khasanah perpustakaan serta menambah wawasan bagi pembaca maupun penulis.




BAB II
PERMASALAHAN
Bertitik tolak dari penjelasan diatas, maka kita dapa melihat adanya dulisme hukum adat diindonesia sifat seperti ini adalah hal yang perlu kita hindari dalam lapangan hukum, sebab sifat dualisme dafat menimbulkan ketidakpastian hukum, suatu keadaan yang berkenaan dengan falsafah dan tujuan hukum itu sendiri.
Lebih lanjut, di indonesia belakangan dibuatlah suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertanahan yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang pokok pertanahan (UUPA 1960). Undang-Undang Diciptakan untuk mengadakan unifikasi Hukum pertahanan nasional. Sehingga muncul beberapa pertanyaan, antara lain adalah:
1. Bagaimana pengaturan hukum tanah adat yang ada diindonesia
2. Bagaimana kedudukan hukum tanah adat (atau tanah adat) setelah berlakunya UUPA 1960
3. Apakah dualisme hukum tanah di indonesia bebenar ditiadakan setelah berlakunya UUPA 1960
Pertanyaan-pertanyaan diatas membutukan jawaban-jawaban yang tegas sebab masalah pertahan adalah perseorangan yang cukup serius dan sensitif adanya artinya apabila persoalan pertahanan tidak mendafat perhatian ditengah penyelenggara negara dan masyarakat, maka masyrakat akan rawan konflik.
Oleh karena itu makalh akan melakukan pembahasan lebih lanjut dalam bab-bab berikut ini untuk, seraya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas berdasarkan teori-teori dan atau dasar hukum yang berlaku diindonesia.




BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Hukum Tanah Adat Sebelum Berlakunya UUPA

Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu perekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai dengan dengan kebutuhan mereka dengan memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggota persekutuan berlangsung secara tertulis.

Selain itu dalam melakukan tindakan untuk menggunakan tanah adat, harus terlebih dahulu diketahui atau meminta ijin dari kepala adat. Dengan dengandemikian sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih milik anggota persekutuan huku, yang mempunyai hak untuk mengelolanya tanfa adanya pihak yang melarang.

3.2 Beberapa Aspek Hukum Tanah Adat Di Indonesia

Tanah adalah suatu hak yang tidak lepas dari kehidupan manusia. Tanah adalah tempat unntuk mencari nafkah,mendirikan rumah atau tempat kediaman dan juga menjadi tempat dikuburnya orang pada waktu meninggal. Artinya tahan adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Supaya tidak ada ketidak jelasan hak antara satu sama lain pihak, maka diperlukan aturan-aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.

Aturan-aturan atau kaidah-kaidah yang berhubungan antara manusia dengan tanah ini, selanjutnya disebut hukum tanah menurut hukum adat. Menurut hukum adat diindonesia, ada dua macam hak yang timbul atas tanah yaitu:

1. Hak persekutuan, yaitu hak yang dimiliki,dikuasai,dimanfaatkan
Dinikmati,diusahai oleh sekelompok manusi yang hidup dalam satu wilayah tertentu yng disebut masyarakat hukum (persekutuan hukum) lebih lanjut hal persekutuan ini sering disebut hak ulayat,hak dipertuan,hak purba, hak komunal atau beschikkingsrecht.
2. Hak perseorangan yaitu hak yang dimiliki,dikuasai,dimanfaatkan.
Dinikmati,dijalani oleh seseorang anggota atau persekutuan tertentu.
Secara umum, Prof,Ter Haar Bzn mengatakan bahwa hubungan antara hak persekutuan dengan hak perseorangan adalah seperti “teori balon” Artinya, semakin besar hak persekutuan, maka semakin kecilah hak perseoranagn. Dan sebaliknay makin kecil hak persekutuan, mak semakin besar hak perseoragan
Ringkasnya, hubungan diantara keduanya bersifat kembang kepis. Hukum tanah dalam hal hak persekutuan atuau hak pertuanan dapat dilihat dengan jelas bahwa umat manusia itu ada yang berdiam disuatu pusat tempat kediaman yang selanjutnya disebut masyarakat desa atau mereka ada yang berdiam secara tersebar dipusat-pusat kediaman yang sama nilainya satu sama lain, disuatu wilayah yang terbatas, maka dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah.
Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak atas tanah itu, mempunyai hak-hak atas tanah itu, dan melakukan hak itu baik keluar maupun kedalam persekutuan. Berdasarkan atas berlakunya hak tersebut ke luar, maka persekutuan masyarakat hukum adat itu sebagai kesatuan yang berkuasa memungut hasil dari tanah itu dengan membatasi adanya orang-orang lain yang melakukan hal yang serupa itu.
Juga, sebagai suatu kesatuan masyarakat, mereka bertanggung jawab terhadap orang-orang luar masyarakat itu atas perbuatan-perbuatan pelanggaran diwilayah tanah masyarakat itu. Masyarakat itu, dalam arti kata para anggotanya bersaa-sama (kolektif), mempergunakan hak pertuanannya berupa atau dengan cara memungut keuntungan dari tanah itu dan dari segala makhluk hidup yang terpelihara disitu.
Masyarakat itu membatasi kebebasan berbuat anggota-anggotanya secara perseorangan berdasarkan atas haknya atas tanah itu dan untuk kepentingannya sendiri (kepentingan masyarakat). Sehingga sifat sosialnya tanah itu benar-benar terjadi, berlaku dan dipertahankan dengan jelas. Sifat yang khusus hak pertuanan atau persekutuan adalah terletak pada daya timbal-balik dari pada hak itu.

Terhadap hak-hak yang melekat pada orang perorangan atau individu. Semakin memperkuat anggota masyarakat (selaku pengelola tanah) hubungan individu tersebut dengan tanah yang tertentu itu dari pada tanah yang diliputi oleh hak persekutuan, makin memperdalam hubungannya dengan hukum perseorangan (terhadap tanah itu), maka makin kecillah hak yang dimiliki masyarakat terhadap sebidang tanah itu.
Bilamana hubungan perseorangan atas tanah itu berkurang atau bila hubungan itu diabaikan secara terus menerus, maka hak-hak masyarakat akan dikembalikan seperti sedia kala, dan hak persekutuan atas tanah itu berlaku kembali tanpa ada gangguan. Misalnya, dapat saja diatur agar tanah sedemmikian itu menjadi bagian orang-orang miskin atau orang-orang baru anggota persekutuan dengan (hak pakai)dan (hak sementara).
Pada beberapa lingkungan hukum, maka kesadaran mengenai adanya hubun gan masyarakat dengan tanah itu terbukti dari adanya acara selamatan pada waktu yang tepat di tempat-tempat selamatan desa tersebut dibawah pimpinam masyarakat pada waktu akan memulai pengerjaan tanah. Sedangkan keyakinan dari adanya pertalian yang hidup antara manusia dengan tanah itu juga dapat terlihat jelas pada waktu diadakan acara, seperti pesta pembersihan pesta pasca panen dan acara-acara seperti itu.
Anggota-anggota masyarakat sebagai perseorangan atau individu dapat memungut hasil dari tanah itu, dalam mayoritas lingkungan hukum adat pada pokoknya selama penggarapan tana itu semata-mata hanya diperuntukan untuk mencari nafkahnya saja, atau berikut untuk keluarganya atau kerabatnya. Apabila anggota persekutuan melewati batas penggunaannya itu.
Misalnya melakukan penggarapan tanah untuk kepentingan perdagangan (trading) dalam artian untuk memperkaya diri sendiri, maka mereka akan diperlukan seberapa jauh sebagai orang-orang diluar persekutuan, yang selanjutnya hak-hak persekutuan yang bersifat keluar akan diberlakukan terhadap mereka. Sekali lagi disini dapat dilihat bahwa sifat tanah itu benar-benar adalah bersifat sosial adanya.
Selanjutnya, anggota pesekutuan masyarakat itu juga memiliki hak untuk membuka tanah (ontginningsrecht), yaitu adanya penyelenggaraan suatu hubungan sendiri terhadap sebidang tanah sebagai bagian dari lingkungan hak pertuanan. Hak membuka tanah itu menurut ukum adat adalah salah satu dari pada tanda-tanda munculnya hak persekutuan atau (beschikingsrecht) dan hanya ada pada anggota-anggota masyarakat atau tanah-tanah dilingkungan hak pertuanan itu sendiri. Hubungan hukum seperti dapat diwariskan.
Hak membuka tanah ini tidaklah terjadi atau dilakukan begitu saja. Sering kali ini menuntut adanya dilakukan cara-cara khusus yang dihadiri oleh para tokoh adat atau masyarakat setempat dan perlunya membuat tanda-tanda tertentu yang menunjukan bahwa tanah atau lahan tersebut Telah ada perseorangan yang sedang mengolahnya. Hal-hal seperti ini akan mempertegas adanya hubungan hukum perseorangan tersebut terhadap tanah yang dibukannya. Apabila hal itu tidak ada, maka hubungan hukum antara tanah yang dibukanya dengan dirinya akan begitu lemahnya, sehinga membuka peluang bagi orang lain (perseorangan atau individu) untuk juga mengklaim bahwa itu juga lahan yang dibukanya.
Hal seperti inilah yang akan menimbulkan permasalahan tentang tanah. Seperti yang elah disebutkan sebelumnya, bahwa persoalan tanah rawan konflik. Kadang-kadang setelah selang beberapa waktu, lahan itu tidak lagi seproduktif sewaktu baru pertama kali dibuka. Sehinggasi penggarap tanah memutuskan untuk meninggalkan lahan tersebut dan membuka lahan yang baru di daerah persekutuan itu juga.
Dalam hal ini, maka apabila kondisi lahan atau tanah menunjukan ketelantaran, hak persekutuan akan kembali seperti dahulu kala. Hak perseorangan menjadi hapus. Apabila yang bersangkutan kelak berkehendak untuk membuka kembali laan tersebut, dia harus memulai hubungan hukumnya dari awal lagi, seperti layaknya dahulu ia melakukannya.
Para pemimpin masyarakat adat juga memiliki hak untuk mencabut kembali hak pakai atas tanah karena alasan-alasan tertentu. Misalnya, lahan lama telah lama ditinggalkan, atau sipenggarap telah meninggal dunia tanpa mempunyai ahli waris, atau karena suatu perjanjian tertentu masyarakat hukum adat, atau karena sinpenggarap sudah melakukan prilaku kurang baik terhadap ersekutuan hukum.
Penggarapan tanah atau pemakaian tanah untuk menikmati hasilnya tersebut, juga berlaku bagi kepala atau pegawai masyarakat hukum selama mereka menjabat dinas bagi kepentingan persekutuan hukum. Tanah-tanah seperti ini sering disebut sebagai (taah bengkok). Atau dibeberapa tempat lainnya, para pemimpin persekutuan dapat saja menikmati hasil dari tanah dengan cara memiliki tenaga kerja yang diambil dari sesama anggota persekutuannya.
Lebih tegasnya, (tanah bengkok) yang disebut disini adalah sebagian dari tanah persekutuan yang diperuntukan untuk semacam gajih kepala desa, terlepas dari mana asal usulnya yang lebih tegas, tetapi secara umum diambil dari tanah persekutuan. Hak persekutuan atau pertuanan juga dapat berlaku ke luar. Dalam hal hak persekutuan atau (beschikingsrecht) berlaku ke luar karena orang-orang di luar persekutuan, misalnya orang-orang dari persekutuan tetangga, hanya boleh memungut hasil dari tanah tersebut, dan atau sudah membayar dana pengakuan dimuka serta dana ganti rugi dikemudian hari.
Hak sedemikian ini, hanya dapat dimiliki oleh orang tersebut dalam tempo yang terbatas, biasanya dalam praktek yaitu satu kali panen saja. Dengan kemungkinan untuk kelanjutan lagi. Orang luar tersebut tidak akan pernah memiliki hak untuk memiliki tanah tersebut, bahkan hak-hak mereka dapat dibatasi oleh persekutuan dalam hal membuat perjanjian-perjanjian yang berhubungan dengan tanah.
Hal lain yang dapat menimbulkan konflik dibidang pertanahan adalah karena tidak jelasnya pembatasan daerah atau tanah persekutuan atau (beschikingsrecht) artinya, ukuran yang digunakan dalam bidang pertanahan menurut hukum adat adalah kontruksi yuridis yang abstrak. Sehingga batas-batas pertahanan antara persekutuan hukum adat yang satu dengan yang lainnya yang bertetangga sering kali tidak jelas adanya. Sehingga, ketika satu persekutuan hukum adat mengklaim bata tertentu tanahnya, bisa jadi itu sudah dianggap melampui batas yang sudah diklaim oleh persekutuan hukum adat tetangganya.
Apabila kelak ada orang yang berkehendak untuk membuka lahan dibidang yang adalah perbatasan tersebut, maka konflik pertanahan antar persekutuan hukum akan timbul dengan sendirinya. Hal yang seperti ini seharusnya tidak terjadi apabila tidak ada ketegasan hukum dalam bidang pertanahan.
Hal lain yang membuat aspek sedeikian itu rawan konflik, adalah karena adanya prinsip bahwa tana persekutuan atau pertuanan tersebut tidak dapat di pindah tangankan (onvervreemdbaarheid). Artinya pada waktu terjada perbedaan pendapat tentang kepemilikan hak antar persekutuan hukum tentang batas-batas tanah tersebut, masing-masing persekutuan hukum akan membela haknya dengan segala cara.

Mereka tidak akan pernah mengijinkan haknya atas tahah yang telah mereka klaim, yang mungkin telah terjadi untuk waktu yang cukup lama, lepas begitu saja. Ada nilai megis/religi yang terdapat antara tanah persekutuan dengan masyarakat persekutuan yang membuat prinsip itu berlaku dengan kuat diantara mereka.
Disinilah perlu letak peran pemerintah atau penguasa yang lebih tinggi untuk membuat peraturan yang memiliki atau menjamin kepastian hukum dalam bidang pertanahan, menghindari konflik pertanahan diantara persekutuan hukum adat. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa dalam hal (beschikingsrecht), yang dimaksud adalah hak menguasai atau memakai tanah. Hal ini merupakan pendapat dari :
Prof.van vollenhoven.
Sehingga fungsi ke dalam maupun ke luar dapat disimpulkan sebagai hak pakai oleh setiap warga masyarakat daerah persekutuan dan tanah demi kepentingan bersama dalam masyarakat daerah persekutuan serta persekutuan lainnya. Sementara itu, ada juga hak perseorangan atau individu atas tanah. Dalam hal ini ada be berapa hak perseorangan atau individu dalam tertib hukum masyarakat persekutuan, antara lain adalah :
Hak milik atas tanah : yaitu hak yang di miliki oleh anggota persekutuan pada seseorang untuk memungut hasil dari tanah tersebut untuk satu kali panen saja. Hak ini mirip dengan hak yang menikmati oleh orang asing atau orang luar persekutuan atas tanah persekutuan. Hanya saja, perseorangan anggota persekutuan tidak dituntut untuk membayar biaya atau ganti rugi tertentu.
Hak yang dibeli : yaitu hak yang diberikan pada seseorang untuk membeli tanah untuk mengesampingkan orang lain. Hal ini terjadi karena orang yang membeli itu adalah sanak saudara dari sipenjual, atau tetangganya, atau berasal satu anggota persekutuan yang sama.
Hak memungut hasil karena jabatan : yaitu hak yangdiberi kepada seseorang atau individu yang sedang memegang jabatan tertentu didalam satu persekutuan hukum adat tersebut, dan hak itu tetap ia miliki selama memegang jabatan yang dimaksud. Seperti yang dibahas sebelumnya tanah bengkok dijawa merupakan salah satu bukti kongkrit tentang hak ini.
Hak pakai : yaitu hak yang diberikan kepada seseorang untuk mengambil hasil dari sebidang tanah. Misal, diminang ada hak atau sawah pusaka, sedangkan anggota-anggota persekutuan mempunyai hak pakai atas tanah-tanah bagian sawah pusaka yang dibagikan untuk mereka untuk dipungut hasil nya yang sering disebut ganggam bauntuiq, dimana anggota-anggota persekutuan juga mempunyai hak pakai atas tanah kerabat yang tidak dapat di bagi-bagi, dan tokoh-tokoh hukum adat setempat yang serupa dengan itu.
Hak gadai dan Hak sewa : yaitu hak-hak yang timbul karena perjanjian atas tanah. Hak gadai dari sipemegang gadai, juga haknya seseorang yang menyewa tanah dengan pembayaran uang sewa lebih dahulu.
Hak radja : yaitu hak yang diberikan kepada radja untuk memungut hasil karena kedudukannya.
3.3 Kedudukan hukum tanah adat dan agraria indonesia dalam penanggulangan permasalahan pertahanan
Dalam banyak peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Hukum saat ini malah dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif dan come into fore ketika dihadapkan dengan masyarakat modern dewasa ini. Namun, kenyataan ini tidak dengan sendirinya membuat hukum adat bebas dari permasalahan dalam penerapan, khususnya apabila kita melihat dalam bidang hukum tanah adat.
Ada banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agraria nasional yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius. Perihal UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga-lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan pada fungsi sosial dari hak-hak atas tanah pasal 5 UUPA mengatur bahwa :
hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini, dan dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini, dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Lebih dari pada itu, dengan berlakunya UUPA 1960, kita meniadakan dualisme hukum pertahanan dengan menundukan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama hukum agraria nasional. Namun. Perlu diingat bahwa hukum agraria nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah. Yang bersigfat nasional , bukan hukum ada yang bersifat kedaerahan atau regional.
Artinya, untuk menciptakan hukum agraria nasional, maka hukum adat yang berada diseluruh penjuru nusantara, dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tentu saja, tujuannya untuk meminimalisir konflik pertahanan dalam lapangan hukum tanah adat. Untuk itu, dalam subtansi pasal 5 UUPA 1960 kita dapat menarik kesimpulan, sebagaimana yang telah diuraikan oleh :
Prof.Dr.A.P Parlindungan.SH bahwa hukum adat yang berlaku dalam bidang pertahanan atau agraria adalah yang erhadap kepentingan nasional (prinsip nasionalitas), pro kepada kepentingan negara, pro kepada sosialisme indonesia, tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi, dan ditambah dengan unsur agama.
Jadi, motivasi dari hukum agraria nasional, dalam hal UUPA 1960 sebagai induknya, benar-benar akan mengurangi konflik pertahanan yang akan timbul sebagai akibat penerapan hukum adat yang bersifat kedaerahan. Hukum agraria nasional tidak hanya tercantum dalam UUPA 1960 saja, tetapi juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang perjanjian perjanjian ataupun transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah.
Misalnya, undang-undang no 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil pertanian, undang-undang no 2 tahun 1960 tentang penetapan ceiling tanah dan gadai tanah pertanian. Disini dapat dilihat bahwa semua masalah hukum tanah adat secara praktis diakomodasi oleh peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah (penguasa).

Bahkan dalam undang-undang no 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup (uu no 23 tahun 1997), hukum adat juga dijdikan dasar penetapan juga dan pembentukannya. Dimana dalam pasal 9 UU No 23 tahun 1997 disebutkan bahwa pemerintah menetapkan kebijaksanaan dalam mengelola lingkungan hidup, yang bagian utamanya adalah tanah, juga mengandalkan hukum adat yang berlaku secara nasional untuk menjadi dasar pengaturannya. Untuk kesekian kalinya hukum adat (hukum tanah adat) mendapat kedudukan yang tepat dalam hal ini.
Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Hukum tanah adat yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya menunjukan bahwa dengan adanya tanah persekutuan dan tanah perseorangan menunjukan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang serupa yang diatur dalam UUPA 1960.
Kelihatan disini bahwa peran pemerintah atau penguasa sangat menentukan untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam bidang pertahanan, khususnya hukum tanah adat. Hanya saja patut diberi perhatian bahwa karena bertitik tolak dari peran pemerintah tersebut, maka sering kali kebijakan-kebijakan bidang pertahanan atau agraria memiliki tendensi politik dari pada dari hukumnya.
Oleh karena itu, prinsip mendahulukan kepentingan sosial dapat diartikan bahwa segala kebijaksanaan dibidang pertanahan tidak boleh di biarkan merugikan kepentingan masyarakat. Tanah tdak diperkenakan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau kelompok, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat , baik untuk kesejahtraan maupun kebahagiaan yang mempunyai, serta baik dan bermanfaat bagi masyarakat dan kepentingan negara. Kepentingan masyarakat dan perseorangan haruslah saling imbang imengimbangi atau adil adanya.
Salah satu hal yang dapat menjamin kepastian hukum bidang pertanahan adalah dengan melakukan persertifikatan tanah adat. Pasal 19 UUPA1960 menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah republik indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Dengan dilakukan pendaftaran tanah, maka status haknya akan beridentitas yang jelas. Untuk kondisi pertanahan diindonesia yang sebelumnya sering dipengaruhi oleh hukum erofa dan hukum tanah adat,cara yang agak memenuhi syarat tersebut ialah sistem buku tanah. Penyelenggaraan tugas tersebut dibebankan kepada instansi agraria bagian pendaftaran tanah dengan pedoman pada pp no 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah sebagai landasan hukum pelaksanaan penyelenggaraan pendaftaran tanah.
Beberapa hal yang harus ditarik pada perhatian kita, antara lain adalah bentuk pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah didalam UUPA adalah bentuk suatu kadaster hukum. Pendaftaran tanah yang dapat menjamin kepastian hukumnya dari hak atas tanah dengan sepenuhnya bila memenuhi syarat, yaitu :
a. Peta-peta pendaftaran tanah yang dibuat membuktikan bidang batas-batas tanah yang ditetapkan didalamnya sebagai batas-batas yang sah menurut hukum. Syarat ini berkaitan dengan masalah pendaftaran tanah dengan kekuasaan bukti.
b. Daftar-daftar umum yang disediakan dalam rangka pendaftaran hak membuktikan pemegang hak yang terdaftar didalamnya sebagai pemegang hak yang sah menurut hukum. Syarat ini berkaitan dengan masalah sistem pendaftaran hak atas tanah.
c. Setiap hak atas tanah serta peralihannya didaftar dalam daftar umum, sehingga daftar itu memberikan gambaran yang lengkap yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya hak-hak atas tanah. Syarat ini berkaitan dengan masalah arti peralihan pendaftaran bagi peralihan hak.

Disini dapat kita lihat bahwa persetrifikatan tanah mempunyai kecendrungan atau tendesi pengaruh positif terhadap pelestarian tanah yaitu :
a. Adanya jaminan kepastian hukum bagi pemilik tanah ulayat sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang pokok agraria.
b. Meningkatkan ketertiban dalam bidang keagrariaan.

3.4 Hukum tnah adat setelah berlakunya UUPA
Seperti yang sudah di jelaskan dalam konsepsi UUPA , menurut konsepsi UUPA maka tanah, sebagaimana juga halnya dengan bumi, air dan luar angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalam yang ada diwilayah republik indonesia, adalah karunia tuhan yang maha esa pada bangsa indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara bangsa indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi.
Dalam pasal 5 UUPA ada disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan luar angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosilisme indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Adanya ketentuan yang demikian ini menimbulkan dua akibat terhada hukum adat tentang tanah yang berlaku dalam masyarakat indonesia, dimana disatu pihak ketentuan tersebut memperluas berlakunya hukum adat tidak hanya terhadap golongan Erofa dan timur asing. Hukum adat disini tidak hanya berlaku untuk tanah-tanah indonesia saja akan tetapa juga berlaku untuk tanah-tanah yang dahulunya termasuk dalam golongan tanah barat.
Setelah belakunya ketentuan diatas, maka kewenangan berupa penguasa tanah-tanah oleh persekutuan hukum mendapat pembatasan sedemikian rupa dari kewenangan pada masa-masa sebelumnya karena sejak saat itu segala kewenangan mengenai persoalan tanah terpusat pada kekuasaan negara, kalau demikian bagaimana kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah yang disebut hak ulayat tersebut, apakah juga masih diakui berlakuanya atau mengalami perubahan sebagimana halnya dengan ketentuan-ketentuan hukum adat tentang tanah.
Mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dari UUPA, antara lain :
a. Pasal 2 ayat 4 “hak menguasai dari negara, tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasai kepada daerah-daerah swantanra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut peraturan pemerintah”
b. Pasal 3 “dengan menggugat ketentuan-ketentuan pasal 1 dan pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas kepentingan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi”
c. Pasal 22 ayat 1 “terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah”
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa setelah berlakunya UUPA ini, tanah adat di Indonesia mengalami perubahan. Maksudnya segala yang bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak ulayat, tentang jual beli tanah dan sebagainya mengalami perubahan. Jika dulu sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masih milik persekutuan hukum adat setempat yang sudah dikuasai sejak lama dari nenek moyang mereka dahulu.

Namun setelah berlakunya UUPA, hak ulayat masih diakui, karena hal ini dapat dilihat dari pasal 3 UUPA, hak ulat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan dimasyarakat masih ada. Andaikata karena terjadinya proses individualis sering hak ulayat ini mulai mendesak, yang memberi pengakuan secara khusus terhadap hak-hak perorangan.

Dengan tumbuh dan kuatnya hak-hak yang bersifat perorangan dalam masyarakat hukum adat mengakibatkan menipisnya hak ulayat. Hak ulayat ini diakui oleh pemerintah sepanjang kenyataan masih ada. Kalau sudah ada tidaklah perlu untuk membuat adanya hak ulayat yang baru.

Hak ulayat yang diakui dalam pasal tersebut bukanlah hak ulayat seperti dengan masa sebelumnya dengan kepentingan Nasional Dan Negara perbatasan dengan bahwa hak ulayat yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lainnya. Selain itu ada juga perubahan yang terjadi ada hukum tanah adat sebelum dan sesudah berlakunya UUPA. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam hal ini jual beli tanah.

Sebelum berlakunyanya UUPA, jual beli tanah sering dilakukan hanya secara lisan saja, yakni penjualannya. Itu sebabnya sampai dikatakan dulu tanpa bentuk. Kemudian berkembang dengan pembuatan surat jual beli antara dua pihk. Jual beli tanah adalah perbuatan hukum menyerahkan tanah hak oleh penjual kepada pembeli. Perubahan lain yang terjadi misalnya dalam hal daluarsa.

Dalam hukum adat daluarsa ini menyangkut tentang hak milik atas tanah. Dulu, suatu bidang tanah yang sudah dibuka atas ijin pemangku adat atau kepala dat yang berwenang, maka setelah beberapa tahun tidak dikerjakan/ditanami kembali ditutur belukar dapat diberi peruntukan lain/baru kepada pihak yang membentuknya, akibat pengaruh lamanya waktu dan tanah itu telah kembai kepada hak ulayat desa.
Dalam perjalanan waktu, apabila izin membuka tanah dan tanahnya dimaksud digunakan terus, maka pemegang hak itu tidak memerlukan ijin lagi untuk menggunakan tanah secara terus menerus makin lama seorang memanfaatkan hak/izin itu, bertambah kuat hak melekat diatasnya sampai pada akhirnya menjadi hak milik.

Hak milik juga mengalami perubahan, sebelum berlakunya UUPA, lazimnya didaftarkan dan dikenakan pajak hasil bumi. Walaupun peraturan perpajakan ini tidak menentukan hak atas suatu bidang tanah, tetapi sejarah penggunaan dan pemilikan penguasa tanah secara tidak langsung dipotong dokumentasi/administrasi perpajkan serta pembayaran pajak tersebut.

Sejak berlakunya UUPA, keadaanya jadi lain, akibat adanya ketentuaan konversi dan politik hukum agraria yang merubah setelel lama. Perubahan lainnya terlihat juga didalam pelaksanaan pembukaan tanah. Menurut pasal 46 UUPA, hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara indonesia yang diatur oleh peraturan pemerintah. Di dalam peraturan tersebut telah digariskan beberapa ketentuan mengenai hak membuka tanah ini sebagai berikut :

1. Pasal 6 “ gubernur kepala daerah memberikan keputusan mengenai izin untuk membuka tanah, jika luas tanahnya lebih dari 10 ha tetapi tidak melebihi 50 ha”.
2. Pasal 10 “ bupati/walikota kepala daerah memberikan keputusan mengenai izin untuk membuka, jika luasnya dari 2 ha tetapi tidak melebihi dari 10 ha”.
3. Pasal 11 “kepala keamanan memberikan keputusan mengenai izin membuka tanah jika luasnya lebih dari 2 ha dengan memperhatikan pertimbangan kepala desa yang bersangkutan atau pejabat yang setingkat dengan itu.”

Dari ketentuan tersebut diatas, kelihatan mengenai perseolan pemembuka tanah ini tidak lagi dikaitkan dengan hukum adat tetapi sudah dipandan sebagai satu kewenangan administratif. Dengan demikian jelaslah sudah bahwa hukum tanah adat di indonesia telah mengalami pengembangan dalam berbagai hal, karena ini disesuaikan dengan adanya perkembangan jaman tidak tertulis, tetap keberadaannya masih tetap dipandang kuat oleh masyarakat.

Begitu juga kiranya dengan tanah adat yang sudah merupakan bagian dari diri mereka dan tetap dipertahankan kelestariannya jika ada pihak-pihak yang ingin merusaknya. Memang, setelah perkembangan jaman ditambah lagi setelah berlakunya UUPA, hukum tanah adat masih tetap diakui selama tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara.



BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang berlaku di indonesia menunjukan adanya suatu nuansa kehidupan atau fungsi sosial dari tanah, terlebih lagi dalam pembagian tanah persekutuan dan tanah perseorangan atau individu. Juga dapat dilihat bagaimana pembagian hak-hak atau pengaturan hak-hak atas tanah adat menunjukan adanya upaya untuk menerbitkan pemakaikan tanah adat sehingga menjamin keadilan. Namun, kepastian hukum tidak terjamin dengan hanya mengandalkan hukum tanah adat belaka, karena aspek penerapan konstuksi yuridis abstrak dalam hukum tanah adat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar