Laman

Minggu, 05 Juni 2011

PENGERTIAN HUKUM ISLAM (SYARI'AT ISLAM)

PENGERTIAN HUKUM ISLAM (SYARI'AT ISLAM)

Hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah.

Syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah.

Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.

Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan). Syari’ah disebut juga syara’, millah dan diin.

Hukum Islam berarti keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib diturut (ditaati) oleh seorang muslim.
Dari definisi tersebut syariat meliputi:
1. Ilmu Aqoid (keimanan)
2. Ilmu Fiqih (pemahan manusia terhadap ketentuan-ketentuan Allah)
3. Ilmu Akhlaq (kesusilaan)Abdul Wahhab Khalaf, 1994, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Cetakan Keempat, Hal. 154.Ahmad Azhar Basjir, 1990, Asas-asas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam), Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Hal 1.

Mazhab-Mazhab Islam
A. PENGERTIAN MADZAB
Menurut istilah berarti jalan fikiran atau faham yang ditempuh oleh seseorang mujtahid di dalam menetapkan sesuatu hukum dari Al-Qur’an dan Hadist.
Dalam perkembangannya kemudian muncul tiga Mazhab besar yang merupakan Mazhab Fiqhiyyah (aliran-aliran yang berhubungan dengan syariah di mana perbedaan pendapat berkisar pada masalah syariah/hukum dan bukan pada masalah aqidah), yaitu:

1. Mazhab ahlul –Sunnah (Sunni)
Dikalangan ahlul-Sunnah terdapat perbedaan-perbedaan dalam memahami makna ayat-ayat Qur’an dalam hal:
a. nasikh-mansukh (pembatalan hukum ayat tertentu oleh gantinya dari ayat lain)
b. pengutamaan penilaian hadist-hadist yang dipandang kuat
c. batasan pemakaian qiyas (analogi dalam penetapan hukum)
d. pemahaman pengertian ijma’
e. prinsip-prinsip pokok tasyri’ (penetapan hukum, legalisasi)

Adapun madzhab-madzhab yang terkenal dan diakui mempunyai otoritas tertinggi dan terbesar jumlahnya ada empat yang lebih dikenal dengan nama Madzhabul Arba’ah, yaitu:
a. Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanafiah mempunyai cara menetapkan hukum syariat berdasarkan dalil-dalil hukum islam dengan urutan sebagai berikut:
1. Al-Quran
2. Al-Hadist
3. Qiyas
4. Istihsan
5. Ijma’
Pandangan madzab ini ialah menyatakan bahwa kedudukan qiyas lebih penting dibanding ijma dan hadsit dlaif (lemah). Dalam praktek selain keempat sumber hukum islam yang digunakan juga menggunakan sumber hukum “istihsan”.
Contoh:
Dalam perikatan jual beli, qiyas mensyaratkan harus ada obyek bendanya. Tetapi dengan istihsan walaupun obyek bendanya belum ada (tidak dibawa) maka boleh saja dilakukan transaksi dari para pihak.

b. Madzhab Maliki
Madzab ini menentukan hukum syariat berdasarkan urutan sebagai berikut:
1. Al-Quran
2. Al-Hadist
3. Qiyas
4. Mashalih al-mursalah
5. Ijma’
Menggunakan sumber hukum yang dinamakan mushalih mursalah, yaitu segala sesuatu yang diperlukan oleh kepentingan umum diatur dengan ketentuan baru walaupun tidak ada dalam Qur’an dan hadist supaya jangan sampai menimbulkan penderitaan mayoritas umat manusia.
Contoh:
Pengaturan lalu lintas dengan menggunakan jalur sebelah kiri atau kanan bagi setiap orang.

c. Madzhab Syafi’i
Madzab ini menentukan hukum syariat berdasarkan urutan sebagai berikut:
1. Al-Quran
2. Al-Hadist
3. Qiyas
4. Ijma’
Pandangan madzab ini ialah tidak menerima mushalih mursalah dan menolak istishan tetapi menerima qiyas. Semboyan Syafi’i “Apabila hadists itu sah itulah mazhabku dan buanglah perkataanku yang timbul dari ‘ijtihadku. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak akan menyimpang dari hadist yang sahih. Banyak dianut di Indonesia.

d. Madzhab Hambali
Madzab ini menentukan hukum syariat berdasarkan urutan sebagai berikut:
1. Al-Quran
2. Al-Hadist
3. Qiyas
Menurut pandangan aliran ini, sumber hukum yang terutama pada ayat-ayat suci Qur’an. Hadist dlaif (lemah) lebih penting dari qiyas, sehingga sangat sulit untuk mengembangkan pikiran-pikiran umum.

2. Mazhab Syi’ah
Mazhab yang ada sekarang ini dapat diklasifikasikan menjadi mazhab Syi’ah yang menyimpang dari Islam (misalnya Ismailiyah Agha Khan yang aqidah dan syariatnya mengikuti ajaran nafsu Agha Khan, Druz yang mempertuhankan Al-Hakim bin Amrillah, Muhammad bukan dianggap sebagai rasul melainkan hanya sebagai reformer/muslih) dan yang tidak keluar dari Islam.

3. Mazhab Khawarij
Di bidang poliyik mazhab ini merupakan mazhab paling demokratis. Mereka tidak menentukan khalifah itu harus dari ahlul-bait dan tidak pula dari bani Hasyim atau Quraisy tetapi hanya berdasarkan baiat. Mereka menentang pengangkatan khalifah berdasarkan wasiat atau warisan. Apabila khalifah menyeleweng dari konstitusi maka ia boleh diturunkan.

B. SEBAB-SEBAB LAHIRNYA MADZHAB

Pada hakikatnya timbulnya madzab disebabkan oleh perbedaan ijtihad dan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dalam aspek politik, kemudian dikembangkan juga ijtihad di berbagai aspek untuk mendukung kebijakan politik. Hasil itjihad pada aspek politik yang tadinya netral berubah menjadi syarat ideologi dan terkristal menjadi tiga kelompok besar. Disamping itu disebabkan juga oleh perbedaan teknis pemahaman, beda kualitas serta kapasitas intelektual pada masing-masing pendiri dan pengikut mazhab-mazhab tersebut.

Menurut Prof. Dr. Syaikh Syaltout dalam bukunya Muqaranatul-Mazahib fil al-fiqhi, mengemukakan empat hal yang menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat terebut, sebagai berikut:
1. Karena perbedaan pengertian
Ini terjadi karena kata-kata yang dipergunakan ialah kata-kata yang mempunyai makna lebih dari satu, ada makna majaz (kiasan) disamping makna hakiki. Dan ada perbedaan mengenai arti suatu perkataan yang dipakai.
2. Karena perbedaan riwayat
Ada riwayat hadist yang sampai pada sebagian, dan ada yang tidak kepada sebagian lainnya, atau sampainya dengan cara tak memungkinkan hadist dipakai sebagai hujjah, sedangkan kepada lainnya sampai dengan cara yang dapat dipertangungjawabkan untuk menjadi hujjah, atau sampai pada kedudukan dari satu jalan.
3. Karena berlainan dalil mengenai kaidah ushul-fiqh
Sebagian menerima, sedangkan yang lain tak menerimanya. Misalnya hadist ‘aam (umum) yang telah ditakhsis (khusus) tidak menjadi hujjah.
4. Paham yang berlawanan dan tarjih (memilih yang kuat)
Di bidang inipun terjadi banyak perbedaan termasuk di dalamnya tentang nasakh, takwil, dekat jauh, salah dan benar.
5. Adanya qiyas
Inilah lapangan yang paling luas perbedaan pendapatnya terlebih setelah datang ulama-ulama muta-akhirin yang memperlua tinjauan dan wawasan pemikirannya.
6. Dalil-dalil yang diperselisihkan
Apakah boleh dipakai atau tidak seperti isthisan, al-mashalihul mursalah dan istidlal.

Faktor-faktor yang menyebabkan suatu madzhab dapat bertahan hidup terus, sebenarnya bukan dari segi-segi hukum seperti penetapan sumber-sumber hukum atau pendapat yang meringankan, dimana hal ini dimiliki oleh semua madzhab, akan tetapi ketahanan yang bukan yuridislah yang mempengaruhi, yaitu:
1. Pribadi dari pendiri madzhab.
2. Kejelasan keterangan sehingga menarik banyak orang.
3. Adanya murid-murid yang pandai dan membukukan pendapatnya.
4. Bantuan langsung atau tidak langsung dari penguasa.

PERADILAN AGAMA


1.
Peradilan di dunia islam sudah dikenal pada jaman Rasulullah dimana pada saat itu setiap perselisihan yang timbul diselesaikan oleh qadhi (hakim) dimana yang bertindak sebagai hakim di sini Nabi Muhammad sendiri yang didasarkan pada petunjuk Allah. Cara inilah yang kemudian dijadikan pedoman oleh para khalifah setelah Nabi wafat yang dikenal dengan sebutan aqdhiyah atau hukum-hukum pengadilan. Kata hukum memberikan petunjuk untuk memisahkan atau mendamaikan antar dua pihak atau lebih yang berselisih berpedoman pada kehendak Allah. Sedangkan kata peradilan (al-qadla) berarti menyelesaikan, memutuskan suatu atau menyempurnakannya. Dalam fiqih islam peradilan itu merupakan suatu badan yang menyelesaikan perkara dengan menggunakan hukum Allah sebagai dasar, dijalankan oleh orang yang mempunyai kekuasaan umum.

2.
Dasar-dasar peradilan agama Islam:
Surah (5) Al-Maidah ayat 49: “Dan hendaknya engkau hukumkan antar mereka dengan apa yang Allah telah turunkan”.
Surah (4) An-Nisa’ ayat 58: “…Dan apabila kamu menghukum di antara manusia, supaya kamu hukum dengan adil”.
Surah (38) Shad ayat 26:”Hai Daud, sesungguhnya kami jadikanmu khalifah di bumi, maka berikanlah keputusan bagi manusia dengan benar; dan janganlah engkau turut hawa nafsu, karena nanti ia sesatkanmu dari jalan Allah”.
Surah (4) An-Nisa’ ayat 105:”Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu Kitab (ini) dengan (membawa) kebenaran, supaya engkau menghukum diantara manusia dengan (faham) yang Allah tunjukkan kepadamu; dan janganlah engkau menjadikan pembela bagi orang-orang yang khianat”.

3.
Sejarah pembentukan Peradilan Agama
Perkembangan kehidupan bangsa Indonesia secara historis antropologis terutama unsur budaya mengenai “religi dan upacara keagamaan” meperlihatkan adanya bermacam-macam agama. Tetapi walalupun demikian anggota masyarakat itu tetap berbaur dalam satu kesatuan bangsa tanpa membedakan agama dan adat istiadat masing-masing.
Setelah bangsa Belanda menjajah Indonesia, mereka mulai mengadakan penelitian dalam bidang ilmu hukum yaitu mengenai hukum yang berlaku terhadap Bumiputera. Hasil penelitian itu misalnya Konpendium Freijer dan Pepakem Cirebon yang isinya mengenai hukum keluarga bidang aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris Islam (hukum positif).
Akibat hasil penelitian ini hukum adat dalam bidang hukum keluarga tidak pernah mau dirubah atau dihapus karena merupakan hukum agama. Untuk menghormati berlakunya hukum Islam sebagai hukum positif maka lahirlah ketentuan pasal 75 RR dengan dicantumkan berlakunya Hukum Adat bagi Bumiputera. Sebagai pelaksanaan pasal ini dibentuklan lembaga Peradilan Agama bagi daerah Jawa dan Madura, yaitu:
Pri-esterraad (Raad Agama)
Hof voor Islamitische Zaken (Mahkamah Islam Tinggi)
Untuk daerah Luar Jawa dan Madura dibiarkan mengatur dan menyelesaikan perkara yang dihadapi sesuai hukum yang berlaku di daerah masing-masing. Di Kalimanta dibentuk Kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qadhi Besar.

4.
Peradilan adalah proses pemberian keadilan di suatu lembaga yang disebut pengadilan. Pengadilan adalah lembaga atau badan yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

5.
Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum agama Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. PA merupakan salah satu pelaksanan kekuasaan Kehakiman dalam negara RI selain PU, PTUN, PM dan Mahkamah Konstitusi.Sebagai bentuk yang sederhana PA berupa tahkim yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli agama, telah lama ada dalam masyarakat Indonesia. Lembaga tahkim inilah yang menjadi asal usul PA yang tumbuh dan berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat muslin di Nusantara.

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia sumber adalah asal sesuatu. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya. Kata sumber hukum sering digunakan dalam beberapa arti, yaitu:
1. Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum (akal manusia, jiwa bangsa, kehendak Tuhan).
2. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang sekarang.
3. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum.
4. Sebagai sumber dimana kita dapat mengenal hukum.
5. Sebagai sumber terjadinya hukum.

Hukum Islam memiliki suatu sistem. Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian dan satu sama lainnya berkaitan kebergantungan. Setiap elemen terdiri atas bagian-bagian kecil yang berkaitan tanpa dapat dipisah-pisahkan. Hukum sebagai suatu sistem sampai sekarang dikenal adanya empat sistem hukum yaitu Eropah Kontinental, sistem Hukum Anglo Saxon (Amerika), sistem Hukum Islam dan sistem Hukum Adat.

Sumber hukum islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Sumber hukum islam disebut juga dengan istilah dalil hukum islam atau pokok hukum islam atau dasar hukum islam.
Dilihat dari sumbernya-sumber hukumnya, sumber hukum islam merupakan konsepsi hukum islam yang berorientasi kepada agama dengan dasar doktrin keyakinan dalam membentuk kesadaran hukum manusia untuk melaksanakan syari’at, sumber hukumnya merupakan satu kesatuan yang berasal dari hanya firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.
Diriwayatkan pada suatu ketika Nabi mengutus sahabatnya ke Yaman untuk menjadi Gubernur disana. Sebelum berangkat Nabi menguji sahabatnya Mu’as bin Jabal dengan menanyakan sumber hukum yang akan dipergunakan kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan sengketa yang dijumpai di daerah tersebut. Pertanyaan itu dijawab oleh Mu’as dengan mengatakan bahwa dia akan mempergunakan Qur’an, sedangkan jika tidak terdapat di Qur’an dia akan mempergunakan Hadist dan jika tidak ditemukan di hadist maka dia akan mempergunakan akal dan akan mengikuti pendapatnya itu. Berdasarkan Hadist Mu’as bin Jabal dapat disimpulkan bahwa sumber hukum Islam ada tiga, yaitu: Qur’an, Sunnah Rasul dan Akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.

Berdasarkan hadist tersebut juga bisa diambil kesimpulan, yaitu:
1. Qur’an bukanlah kitab yang memuat kaidah-kaidah hukum secara lengkap terinci tetapi berisi kaidah-kaidah yang bersifat fundamental.
2. Sunnah Rasul sepanjang yang berkaitan dengan muammalah hanya mengandung kaidah-kaidah umum yang harus dirinci oleh orang yang memenuhi syarat untuk diterapkan pada kasus-kasus tertentu.
3. Hukum Islam perlu dikaji dan dirinci lebih lanjut.
4. Hakim tidak boleh menolak menyelesaikan perkara dengan alasan hukumnya tidak ada.

Sumber-sumber Hukum Islam terdiri dari:
a. Al Quran
Al Quran berasal dari kata Qara’a yang artinya membaca, membaca dengan bersuara. Seingga makna Al Qur’an berarti buku yang dibaca atau buku yang mestinya dibaca atau bila dihubungkan dengan kepercayaan Islam berarti buku yang selamanya akan tetap dibaca.
Mengenai bacaan Al Qur’an timbul suatu cabang ilmu yang terkenal dengan nama Ilmu Tajwid yaitu ilmu yang menerangkan cara-cara membaca dan menyuarakan tiap-tiap huruf maupun hubungannya dengan setelah menjadi kata yang kemudian bersambung menjadi ayat.
Menurut istilah Qur’an berarti kumpulan wahyu Allah yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW selama menjalankan kenabiannya memalui malaikat Jibril untuk disebarluaskan kepada umat manusia. Adapun wahyu yang pertaman turun ialah Surat Al Alaq, dan sebagai ayat terakhir ialah Surat Al Maidah ayat ke 3.

Berdasarkan masa turunnya Al Qur’an dibedakan menjadi dua masa:
a. Makiyah
Yaitu ayat-ayat yang turun selama Nabi Muhammad masih ada di kota Mekah.
Ciri-ciri ayat Makiyah:
1) Ayatnya pendek-pendek
2) Ditujukan kepada seluruh umat manusia
3) Belum membicarakan secara khusus mengenai hukum
4) Berisi penanaman kepercayaan kepada Allah serta membongkar sisa-sisa kepercayaan syirik di masa jahiliyah

b. Madaniyah
Yaitu ayat-ayat yang turun selama Nabi hijrah ke Medinah.
Ciri-ciri ayat Madaniyah:
1) Ayatnya panjang-panjang
2) Ditujukan khusus kepada orang-orang yang telah beriman
3) Sudah membicarakan secara khusus mengenai hukum
4) Tidak saja berisi penanaman kepercayaan kepada Allah tetapi juga berisi hal-hal yang berhubungan dengan hubungan antara umat manusia dan alam sekitarnya.

Menurut Prof. Mahmud Shaltout bahwa Al-Quran adalah sumber hukum bukanlah kitab hukum atau lebih tepatnya bukan kitab undang-undang dalam pengertian biasa. Sebagai sumber hukum ayat-ayat Al-Quran tidaklah menentukan syariat sampai pada bagian kecil yang mengatur muamalat usaha manusia:

Menurut Muhammad Iqbal mengatakan bahwa maksud utama Al-Qur’an ialah menggugah kesadaran tinggi yang ada pada manusia tentang hubungannya yang serba segi itu dengan Tuhan dan alam semesta.

Dasar-dasar pembinaan Hukum Islam menurut Qur’an:
Berlandaskan 3 hal, yaitu:

a. Memberikan keringanan
Dinyatakan dalam firman Allah: “Tuhan tidak memberati manusia melainkan sekedar kemampuannya”.
Jika kita perhatikan maka pemberian keringanan tersebut ternyata memiliki beberapa bentuk:
1) Penghapusan sama sekali
2) Pengurangan
3) Penundaan waktu pelaksanaan
4) Penggantian dengan kewajiban yang lain.

b. Berangsur-angsur
Mengingat adanya faktor-faktor kebiasaan yang telah mendarah daging pada masyarakat serta tidak senangnya manusia untuk menghadapi perpindahan kebiasaan yang berlaku bagi mereka kepada aturan-aturan baru yang masih asing baginya dengan mendadak, maka peraturan di dalam Al-Qur’an tidak diturunkan/diundangkan sekaligus tetapi sedikit demi sedikit menurut peristiwa yang menghendaki adanya peraturan tersebut.
Sifat berangsur-angsur itu melalui beberapa proses:
1) Membiarkan apa yang ada sebab untuk semetara waktu masih dipandang perlu, kemudian setelah dirasa banyak kerugian baru dilarang.
Contoh: pengangkatan anak kaitannya dengan warisan.
2) Mengutarakan secara global.
Kemudian dijelaskan secara terperinci.
Contoh: mengenai dikemukakannya dasar untuk berperang, kemudian diatur pula mengenai pembagian harta rampasan perang.
3) Setingkat demi setingkat.
Misalnya : larangan meminum minuman keras.

c. Memelihara kemaslahatan
Tidak terdapat perbedaan pendapat dari semua ahli hukum islam bahwa syariat islam itu berdiri di atas ketentuan dan tujuan untuk memelihara kemaslahatan manusia dan memperbaiki tingkah laku serta kepentingan mereka di dunia dan akherat. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau sewaktu-waktu didatangkan aturan hukum dan dilain waktu diadakan perubahan-perubahan karena keadaan menghendaki demikian.
Misalnya: pada zaman rasul talag tiga yang diucapkan sekaligus dahulu dianggap sebagai talaq satu, tetapi pada jaman Umar talaq tiga yang diucapkan sekaligus sebagai talaq tiga juga sesuai dengan ucapannya. Ini dimaksudkan agar laki-laki tidak dengan mudah, tergesa-gesa mengucapkan talaq tanpa memikirkan akibatnya.

Nama lain Al-Quran:
1. Al Kitab
Artinya yang tertulis
2. Al Furqan
Artinya pembeda
3. Al Huda
Artinya yang memimpin manusia untuk mencapai tujuan
4. Ad Dzikr
Artinya peringatan
5. An Nur
Artinya cahaya

Turunnya Al Qur’an itu secara berangsur-angsur, yang memiliki hikmah:
1. Agar mudah dimengerti dan dilaksanakan
2. Diantara ayat-ayat yang diturunkan ada yang nasich dan ada yang mansuch (yang dihapus dan yang emnghapus)
3. Turunnya sesuai dengan peristiwa yang terjadi
4. Memudahkan penghafalan.

Ciri-ciri khas pembentukan hukum dalam Al-Qur’an antara lain sebagai berikut:
a. Ayat-ayat al-Qur’an lebih cenderung untuk memberi patokan-patokan umum daripada memasuki persoalan sampi detailnya
b. Ayat-ayat menunjukkan adanya (beban) kewajiban bagi manusia tidak perbah bersifat memberatkan.
c. Sebagai patokan ditetapkan kaidah
d. Dugaan atau sangkaan tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum
e. Ayat-ayat yang berhubungan dengan penetapan hukum tidak pernah meninggalkan masyarakat sebagai bahan pertimbangan
f. Penerapan hukum khususnya hukum pidana dan yang bersifat perubahan hukum tidak mempunyai daya surut.

6. Hadist atau Sunnah
Hadist menurut logat berarti: kabar, berita atau hal yang diberikan turun-temurun. Hadist menurut istilah dalam agama berarti: berita turun-temurun tentang perkataan, perbuatan Nabi atau kebiasaan nabi ataupun hal-hal yang diketahuinya terjadi diantara sahabat tetapi dibiarkannya. Sunnah menurut logat berarti jalan atau tabiat atau kebiasaan. Sunnah menurut istilah ialah jalan yang ditempuh atau kebiasaan yang dipakai atau diperintahkan oleh Nabi.

Sunnah ada tiga macam:
1. Sunnah Qauliah
Ialah berupa perkataan Nabi mengenai suruhan, larangan atau mengenai sesuatu keputusan.
2. Sunnah Fi’liah
Ialah mengenai perbuatan, sikap atau tindakan Nabi.
3. Sunnah Taqririyah
Ialah perkataan atau perbuatan salah seorang sahabat di hadapan Nabi atau diketahui oleh Nabi tetapi dibiarkan.

Perlu ditegaskan pula bahwa ada ucapan-ucapan Nabi yang bukan merupakan sunnah dan juga bukan merupakan bagian dari Qur’an yang disebut hadist Qudsi. Hadist Qudsi merupakan hadist suci yang isinya berasal dari Tuhan, disampaikan dengan kata-kata Nabi sendiri. Hadist ini merupakan dasar kehidupan spiritual Islam. Lawan dari sunnah ialah bid’ah, yaitu buatan baru, cara baru atau hal-hal yang menyimpang dari ajaran Nabi.

Hadist dalam keadaan sempurna terdiri dari dua bagian:
1. Matan
Bagian yang mengenai teks atau bunyi yang lengkap dari hadist dalam susunan kata tertentu. Matn adalah materi atau isi sunnah tersebut.
2. Sanad atau isnad
Adalah sandaran untuk mengetahui kualitas suatu hadist yang merupakan rangkaian orang-orang yang sambung menyambung menerima dan menyampaikan hadist itu secara lisan turun-temurun dari generasi ke generasi sampai sunnah itu dibukukan.

Tingkatan-tingakatan Hadist
1. Hadist Sahih
2. Hadist Hasan
3. Hadist Dho’if

Tingkatan ini didasarkan kepada kualitas:
1. Para Perawinya
2. Ketelitiannya
3. Sanad (mata rantai yang menghubungkan)
4. Tidak adanya cacat
5. Tidak adanya perbedaan bahkan pertentangan dengan para periwayat lainnya.

Kedudukan hadist dalam pembinaan hukum:
1. Mentafsirkan ayat-ayat Qur’an dan menerangkan makna/artinya
Contoh Surat Al Anam ayat 82:”orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri mereka dengan kedholiman…”. Arti kedholiman disini ialah sifat sirik.
2. Menjelaskan dan memberikan keterangan pada ayat-ayat yang MUJMAL atau yang belum terang.
Contoh Surat Al Kausar ayat 2: “Maka dirikanlah sembahyang sholat karena Tuhannmu…”
3. Mentachshiskan atau mengkhususkan ayat-ayat bersifat umum.
Misalnya ayat mengenai warisan. Hal ini kemudian dijelaskan dalam hadist bahwa warisan itu hanyalah dijalankan dengan syarat persesuaian agama, tidak terjadi pembunuhan dan perbudakan.
4. Mentaqyidkan atau memberi pembatasan bagi ayat-ayat yang mutlak
Misalnya ayat mengenai pemotongan tangan bagi pencuri laki-laki dan perempuan. Kemudian nabi memberikan nisab atau minimal pencurian dan syarat-syarat pemotongan.
5. Menerangkan makna yang dimaksud dari suatu nas yang muktamil (menurut lahirnya boleh ditafsirkan dengan berbagai tafsiran)
6. Sunnah/hadist membuat berbagai macam hukum baru yang tidak disinggung Al-Qur’an.
Contoh nabi menwajibkan saksi-saksi dalam suatu pernikahan.

Dalam literatur islam dijumpai perkataan sunnah dengan makna yang berbeda-beda tergantung pada penggunaan kata itu dalam hubungan kalimat.
1. Sunnah dalam perkataan sunnatulah berarti hukum atau ketentuan-ketentuan Allah mengenai alam semesta (hukum alam).
2. Sunnah dalam istilah sunnah rasul.
3. Sunnah dalam kaitannya dengan al akham al khamsah.

c. Ro’yu
Adalah akal pikiran yang memenuhi syarat untuk berusaha, berpikir dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadist dan merumuskan menjadi garis-garis hukum yang dapat dilaksanakan pada kasus tertentu.

Yang berupa:
1. Qiyas
Adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam Qur’an dan Sunnah karena persamaan illat (penyebabnya).
Pendapat lain mengatakan bahwa qiyas ialah menetapkan suatu hukum dari masalah baru yang belum pernah disebutkan hukumnya dengan memperhatikan masalah lama yang sudah ada hukumnya yang mempunyai kesamaan pada segi alasan dari masalah baru tersebut. Dalam ilmu hukum qiyas disebut dengan analogi.
Contoh: larangan meminum khamar dengan menetapkan bahwa semua minuman keras, apapun namanya, dilarang diminum dan diperjualbelikan untuk umum.

2. Ijmak
Adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat antara para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. Pendapat lain mengatakan bahwa idjma ialah kebulatan pendapat para ulama besar pada suatu masa dalam merumuskan suatu yang baru sebagai hukum islam. Konsesus Idjma ada dua yaitu:
g. Idjma qauli kalau konsesus para ulama itu dilakukan secara aktif dengan lisan terhadap pendapat seseorang ulama atau sejumlah ulama tentang perumusan hukum baru yang telah diketahui umum.
h. Idjma sukuti kalau konsensus terhadap hukum baru dilakukan secara diam (tidak memberi tanggapan).
Contoh: di Indonesia ijmak mengenai kebolehan beriteri lebih dari seorang berdasarkan ayat Qu’an Surat An-Nisa.

3. Marsalih Al Mursalah
Adalah cara menentukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketetuannya baik dalam Qu’an maupun Hadist, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum. Misalnya pemungutan pajak penghasilan untuk dalam rangka untuk pemerataan pendapatan dan pemeliharaan fasilitas umum.

4. Istihsan
Cara menetukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang ada demi keadilan dan kepentingan sosial.
Contoh: pencabutan hak milik seseorang atas tanah untuk pelebaran jalan, pembuatan irigasi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial.

5. Urf atau adat istiadat
Adat istiadat ini tentu saja yang berkenaan dengan soal muammalat. Sepanjang adat istiadat itu tidak bertentang dengan ketentuan dalam Qur’an dan Hadist serta tidak melanggar asas-asas hukum Islam di bidang muammalat, maka menurut kaidah hukum islam yang menyatakan “adat dapat dikukuhkan menjadi hukum” (al-‘adatu muhakkamah).
Dasarnya:
- Dalam Qur’an: “Apa yang dilihat oleh orang Islam baik, maka baik bagi Allah juga”.
- Dalam Hadist: “…Nabi menyuruh mereka berbuat baik dan melarang berbuat mungkar”.
Syarat-syarat Urf sebagai sumber Hukum:
a. Urf harus berlaku terus menerus atau kebanyakan berlaku
b. Urf yang dijadikan sebagai sumber hukum bagi suatu tindakan harus terdapat pada waktu diadakannya tindakan tersebut.
c. Tidak ada penegasan (nas) yang berlawanan denga urf
d. Pemakaian urf tidak akan mengakibatkan dikesampingkannya nas yang pasti dari syari’at.
e. Hukum Adat baru boleh berlaku kalau kaidah-kaidahnya tidak ditentukkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tetapi tidak bertentangan dengan keduanya, sehingga tidak memungkinkan timbulnya konflik antar sumber-sumber hukum itu.

6. Kompilasi Hukum Islam
Dituangkan dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 yang terdiri dari tiga buku yaitu: Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan. Kompilasi hukum islam dibuat dalam rangka untuk memberikan pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukan dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut. Peraturan ini selain berguna untuk kepastian hukum juga diperlukan dalam penegakan keadilan.
ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
Asas berasal dari bahasa Arab (Asasun) yang artinya dasar, basis, pondasi. Jika dihubungkan dengan hukum maka asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.

1. Asas-asas umum
a. Asas keadilan
Dalam Surat Shad (38) ayat 26 Allah memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khlaifah di bumi untuk menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap semua manusia tanpa memandang asal-usul, kedudukan, agama dari si pencari keadilan itu.[19]
b. Asas kepastian hukum
Artinya tidak ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan peraturan-perundang-undangan yang ada dan berlaku pada waktu itu.
c. Asas kemanfaatan
Asas ini merupakan asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum dimana dalam melaksanakan kedua asas tersebut seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat.

2. Asas dalam lapangan hukum pidana
a. Asas legalitas
Artinya tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.
b. Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain
Ini berarti bahwa tidak boleh sekali-kali beban (dosa) seseorang dijadikan beban (dosa) orang lain. Orang tidak dapat dimintai memikul tanggung jawab terhadap kejahatan atau kesalahan yang dilakukan orang lain. Karena pertangungjawaban pidana itu induvidual sifatnya maka tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.
c. Asas praduga tak bersalah
Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang menyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu.

3. Asas dalam lapangan hukum perdata
a. Asas kebolehan (mubah)
asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh Qur’an dan Sunnah. Islam memberikan kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan perdata (baru) sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat.
b. Asas kemaslahatan hidup
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan perdata apa pun juga dapat dilakukan asal hubungan itu mendatangkan kebaikan , berguna serta berfaedah bagi kehidupan manusia pribadi dan masyarakat kendatipun tidak ada ketentuannya dalam Qur’an dan Sunnah.
c. Asas kebebasan dan kesukarelaan
Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela. Kebebasan kehendak kedua belah pihak melahirkan kesukarelaan dalam persetujuan harus senantiasa diperhatikan.
d. Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa harus dihindari segala bentuk hubungan perdata yang mendatangkan kerugian dan mengembangkan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.
e. Asas kebajikan
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap hubungan perdata itu harus mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak dan fihak ketiga dalam masyarakat.
f. Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat
Asas hubungan perdata yang disandarkan pada rasa hormat menghormati , kasih mengasihi serta tolong menolong dalam mencapai tujuan bersama.
g. Asas adil dan berimbang
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan keperdataan tidak boleh mengandung unsur penipuan, penindasan, pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain sedang kesempitan.
h. Asas mendahulukan kewajiban dari hak
Para pihak harus mengutamakan penunaian kewajiban lebih dahulu dari pada menuntut hak. Asas ini merupakan kondisi hukum yang mendorong terhindarnya wanprestasi atau ingkar janji.
i. Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain
Para pihak yang mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdatanya itu.
j. Asas kemampuan berbuat atau bertindak
Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subjek dalam hubungan perdata jika ia memenuhi syarat untuk bertindak mengadakan hubungan itu. Dalam hukum islam manusia yang dipandang mampu berbuat atau bertindak melakukan hubungan perdata ialah mereka yang mukallaf, artinya mereka yang mampu memikul hak dan kewajiban. Penyimpangan terhadap asas ini menyebabkan hubungan perdatanya batal.
k. Asas kebebasan berusaha
Pada dasarnya setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri dan keluarganya.
l. Asas mendapatkan sesuatu karena usaha dan jasa
Usaha dan jasa disini haruslah usaha dan jasa yang baik yang mengandung kebajikan, bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan, keji dan kotor.
m. Asas perlindungan hak
Semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi. Bila hak itu dilanggar oleh salah satu pihak dalam hubungan perdata, fihak yang dirugikan berhak untuk menuntut pengembalian hak itu atau menuntut kerugian pada pihak yang merugikannya.
n. Asas hak milik berfungsi sosial
Hak milik tidak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja, tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
o. Asas yang beritikad baik harus dilindungi
Orang yang melakukan perbuatan tertentu bertangung jawab atau menanggung resiko perbuatannya itu. Tetapi jika ada pihak yang melakukan suatu hubungan perdata tidak mengetahui cacat yang tersembunyi dan mempunyai iktikad baik dalam hubungan perdata itu kepentingannya harus dilindungi dan berhak untuk menuntut sesuatu jika ia dirugikan karena iktikad baiknya itu.
p. Asas resiko dibebankan pada harta tidak pada pekerja.
Jika perusahaan merugi maka menurut asas ini kerugian itu hanya dibebankan pada pemilik modal atau harta saja tidak pada pekerjanya. Ini berarti bahwa pemilik tenaga dijamin haknya untuk mendapatkan upah sekurang-kurangnya untuk jangka waktu tertentu, setelah ternyata perusahaan menderita kerugian.
q. Asas mengatur dan memberi petunjuk
Ketentuan hukum perdata ijbari, bersifat mengatur dan memberi petunjuk saja kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam mengadakan hubungan perdata. Para pihak bisa memilih ketentuan lain berdasarkan kesukarelaan asal saja ketentuan itu tidak bertentangan dengan hukum islam
r. Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi.
Ini berarti bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian tertulis di hadapan saksi-saksi.

4. Asas-asas Hukum Perkawinan
a. Kesukarelaan
Asas kesukarelaan merupakan asas yang terpenting dalam perkawinan Islam, dimana tidak hanya kesukarelaan antara calon suami isteri saja tetapi kesukarelan dari semua pihak yang terkait.
b. Persetujuan kedua belah pihak
Artinya tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.
c. Kebebasan memilih
d. Kemitraan suami isteri
Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami isteri dalam beberapa hal sama, dalam hal lain berbeda.
e. Untuk selama-lamanya
Perkawinan itu dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina rasa cinta serta kasih saying selam hidup.
f. Monogami terbuka
Dalam Surat an-Nisa ayat 129 dinyatakan bahwa seorang pria muslim diperbolehkan beristeri lebih dari seorang asal memenuhi syarat-syarat tertentu.

5. Asas-asas Hukum Kewarisan
a. Asas Ijbari
Peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.
b. Bilateral
Artinya seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari keturunan laki-laki dan perempuan.
c. Asas individual
Harta warisan mesti dibagi kepada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.
d. Asas keadilan berimbang
Harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya. Sehingga antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
e. Asas kewarisan akibat kematian
Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia.
HUKUM TAKHLIFI & HUKUM WADH'I
A. HUKUM TAKLIFI
Setiap perbuatan dan keadaan dalam hukum islam dapat ditentukan hukumnya, perbuatan atau keadaan tersebut ditempatkan di dalam salah satu penggolongan hukum. Perbuatan orang yang dimaksud ialah perbuatan orang yang dapat dibebani hukum atau orang yang mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan yang menurut istilah disebut mukallaf.
Akham artinya hukum, sedangkan khomsah artinya lima sehingga al akham al khomsa artinya lima macam kaidah atau lima katagori penilaian mengenai benda atau tingkah laku manusia dalam Islam. Penggolongan hukum tersebut dinamakan Al Akham al Khomsa atau penggolongan hukum yang lima.

Menurut Imam Syafi’i, penggolongan (didasarkan pada sanksinya) tersebut terdiri:
a. Wajib
Perbuatan atas dasar suruhan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala kalau ditinggalkan akan berdosa.
Hukum wajib dapat dibedakan menjadi:
1) Ditinjau dari segi waktu untuk melaksanakannya
a) Wajib mutlak yaitu; perintah yang tidak ditentukkan waktu tertentu untuk melaksanakannya, misalnya ibadah haji bagi yang sudah mampu.
b) Wajib muaqqat yaitu; perintah yang ditentukkan waktu untuk melaksanakannya, misalnya puasa ramadhan.
2) Ditinjau dari segi siapa yang wajib mekasanakan
a) Wajib ‘aini yaitu perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang yang sudah dewasa.
b) Wajib kifayah yaitu perbuatan yang dapat dilaksanakan secara kolektif.
3) Ditinjau dari segi kuantitasnya
a) Wajib Muhaddad yaitu kewajiban yang ditentukkan batas kadarnya (jumlahnya).
b) Wajib qhairu muhaddad yaitu kewajiban yang tidak ditentukkan batas kadarnya.
4) Ditinjau dari segi kendungan perintah
a) Wajib mu’ayyan yaitu suatu kewajiban yang objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain.
b) Wajib mukhayyar yaitu kewajiban yang objeknya dapat dipilih dari alternative yang ada.[1]

b. Sunnah
Perbauatn atas dasar suruhan atau anjuran yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala sedang jika ditinggalkan tidak berdosa.
Sunnah dapat dibagi menjadi beberapa macam:
1) Sunnah ‘amiyah yaitu perbuatan yang diajurkan untuk dilakukan oleh setiap muslim.
2) Sunnah Kifayah yaitu perbuatan yang diajurkan untuk dilakukan cukup seorang saja.
3) Sunnah Mu’akkadah yaitu perbuatan tidak wajib yang selalu dikerjakan oleh Rasul.
4) Sunnah Ghairu Mu’akkadah yaitu segala perbuatan tidak wajib kadang-kadang dikerjakan oleh rasul, kadang-kadang saja ditinggalkan.
5) Sunnah al-Zawaid yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasul sebagai manusia.[2]

c. Mubah
Yaitu kebolehan artinya boleh dikerjakan atau ditinggalkan. Mubah dapat dibagi menjadi 3 macam:
1) Dinyatakan dalam syara’ tidak berdosa untuk melakukannya
2) Tidak ada dalil yang mengharamkan
3) Dinyatakan dalam syara’ boleh memilih dilakukan atau tidak.[3]

d. Makruh
Lawan dari sunnah, yaitu suatu perbuatan jika dikerjakan tidak berdosa sedang jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Makruh dibedakan menjadi:
1) Makruh Tanzih ialah perbuatan yang terlarang bila ditinggalkan akan diberi pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa.
2) Makruh Tahrim ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar hukukmnya tidak pasti.
3) Tarkul – aula ialah meniggalkan perbuatan-perbuatan yang amat diajurkan.[4]

e. Haram
Sebagai lawan dari wajib, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan berdosa sedang jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Haram dibagi menjadi dua yaitu:
1) Haram Li Dzatihi yaitu perbuatan yang haram dengan sendirinya bukan karena hal-hal lain yang hukumnya haram.
2) Haram Li Ghairihi yaitu perbuatan yang hukumnya haram karena berbarangan dengan perbuatan lain.[5]

B. HUKUM WADH'I
Selain hukum taklifi dalam syariat juga ada hukum wadh’i yakni hukum yang mengandung sebab, syarat dan halangan terjadinya hukum dan hubungan hukum.
Sebab ialah sesuatu yang tampak yang dijadikan tanda adanya hukum. Misalnya kematian menjadi sebab adanya kewarisan, akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan suami isteri.
Syarat adalah sesuatu yang kepadannya tergantung suatu hukum. Misalnya syarat mengeluarkan zakat ialah jika telah mencapai nizab (jumlah tertentu) dan haul (waktu tertentu), syarat sholat sempurna menghadap khiblat.Halangan atau mani’ adalah sesuatu yang dapat menghalangi hubungan hukum. Misalnya pembunuhan menghalangi hubungan kewarisan, keadaan gila menghalangi untuk melakukan perbuatan atau tindakan hukum. Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar